Monogatari »

  • RSS Feed
  • Twitter
  • Facebook
  • Post Date Minggu, 30 Januari 2011

    ANALISIS PERBANDINGAN TINGKATAN BAHASA PADA BAHASA JEPANG DAN BAHASA SUNDA

    Eil Estriani

    Universitas Pendidikan Indonesia

    Abstrak

    Bahasa adalah penggunaan kode yang merupakan gabungan fonem sehingga membentuk kata dengan aturan sintaks untuk membentuk kalimat yang memiliki arti” (KBBI). Sutedi (2007:153) mengemukakan bahwa terdapat tingkatan dalam Bahasa Jepang, mulai dari bahasa kasar, bahasa biasa, dan bahasa halus. Bahasa Sunda memiliki tiga tingkatan tatakrama berbahasa yaitu basa lemes (bahasa halus), basa loma (bahasa sehari-hari) dan bahasa kasar, sebagai tambahan bahasa Sunda memiliki aturan penggunaan bahasa untuk diri sendiri. Bahasa Jepang dan bahasa Sunda memiliki bentuk sapaan yang memiliki kesamaan dan tidak terdapat dalam bahasa lain seperti bahasa Indonesia misalnya. Bahasa Jepang dan bahasa Sunda memiliki beberapa kesamaan yaitu pada pola tatakrama dan bentuk sapaan. Meskipun tidak terdapat keterkaitan budaya antara budaya Sunda dan budaya negara Jepang sendiri, pola yang sama dalam kebahasaan ini dirasakan penyusun merupakan hal yang biasa ditemui dalam kebahasaan.

    Kata Kunci: Bahasa; Persamaan; Bahasa Jepang; Bahasa Sunda; Tingkatan Bahasa.

    Pendahuluan

    Bahasa adalah penggunaan kode yang merupakan gabungan fonem sehingga membentuk kata dengan aturan sintaks untuk membentuk kalimat yang memiliki arti” (KBBI). Bahasa erat kaitannya dengan kognisi pada manusia, dinyatakan bahwa bahasa adalah fungsi kognisi tertinggi dan tidak dimiliki oleh hewan. Menetapkan perbedaan utama antara bahasa manusia satu dan yang lainnya sering amat sukar. Chomsky (1986) membuktikan bahwa sebagian dialek Jerman hampir serupa dengan bahasa Belanda dan tidaklah terlalu mudah dikenali sebagai bahasa lain, khususnya Jerman.

    Begitu pun dengan bahasa Jepang dan bahasa Sunda. Bahasa Jepang dan bahasa Sunda pada dasarnya memiliki fungsi yang sama yaitu sebagai alat komunikasi. Negara Jepang dan suku Sunda yang terdapat di Indonesia tidak memiliki keterkaitan budaya, akan tetapi pola yang sama dalam tingkatan bahasanya dapat penyusun temukan. Pola yang sama dalam kebahasaan merupakan hal yang biasa ditemui dalam kebahasaan. ‘Bahasa ialah alat yang sangat tidak memadai untuk berfikir dengan tertib dan untuk melahirkan pendapat’ C.P.F Lecoutere, L. dalam Inleideng tot de Taalkunde tot de Geschiedens van het Nederlands (Wikipedia).

    Sutedi (2007:153) mengemukakan bahwa terdapat tingkatan dalam Bahasa Jepang, mulai dari bahasa kasar, bahasa biasa, dan bahasa halus. Bahasa halus disebut dengan keigo, di dalamnya ada bahasa yang digunakan untuk diri sendiri dan ada juga bahasa yang digunakan untuk orang lain. Keigo terdiri dari tiga macam, yaitu: senkeigo, kenjoogo dan teineigo. Tingkatan bahasa seperti ini disebut dengan istilah kudaketa hyougen. Jika hubungan di antara sesamanya semakin akrab, maka ada kecenderungan bahasa yang digunakannya semakin kasar.

    Kemudian penyusun memiliki ketertarikan terhadap pola undak-usuk basa Sunda yang ternyata memiliki kesamaan pola dengan pola tingkatan bahasa dalam bahasa Jepang. Undak-usuk basa Sunda atau tatakrama bahasa Sunda merupakan sopan santun dalam penggunaan bahasa Sunda sendiri. Bahasa Sunda memiliki tiga tingkatan tatakrama berbahasa yaitu basa lemes (bahasa halus), basa loma (bahasa sehari-hari) dan bahasa kasar, sebagai tambahan bahasa Sunda memiliki aturan penggunaan bahasa untuk diri sendiri. Bahasa Sunda termasuk bahasa yang teratur dan memiliki banyak tatakrama. Tatakrama berbahasa tersebut sangat dijunjung tinggi dan penggunaannya benar-benar diperhatikan pemakai bahasanya sendiri.

    Berdasarkan uraian tersebut di atas penyusun akan menjelaskan persamaan bahasa Jepang dengan bahasa Sunda dalam situasi tatakrama atau penggunaan bahasanya. Penyusun menyadari perbedaan bahasa antara keduanya, akan tetapi penyusun lebih memusatkan perhatiannya pada persamaan keduanya, karena hal ini dirasakan menarik dan dianggap penyusun bisa menumbuhkan ketertarikan pembaca untuk mepelajari keduanya.

    Persamaan Tingkatan Bahasa pada Bahasa Jepang dan Bahasa Sunda

    Beberapa Kasus Persamaan

    Seperti yang telah sedikit penyusun uraikan pada bab pendahuluan, terdapat tingkatan dalam Bahasa Jepang, mulai dari bahasa kasar, bahasa biasa, dan bahasa halus. Bahasa halus disebut dengan keigo, di dalamnya ada bahasa yang digunakan untuk diri sendiri dan ada juga bahasa yang digunakan untuk orang lain. Penggunaannya tergantung kepada siapa yang menjadi lawan bicara, atau dijadikan sebagai topik dalam pembicaraan tersebut. Apakah orang yang kedudukannya lebih tinggi atau lebih rendah dari pembicara (orang yang dihormati); atau apakah orang yang sudah dikenali dengan baik (akrab) atau orang yang baru pertama kali dijumpainya (belum akrab).

    Keigo terdiri dari tiga macam, yaitu: senkeigo, kenjoogo dan teineigo. Yang dimaksud dengan senkeigo adalah bahasa yang digunakan untuk menghormati lawan bicara atau orang yang menjadi topik dalam pembicaraan tersebut secara langsung, dengan cara meninggikan posisi atau derajat orang tersebut. Kenjoogo adalah bahasa yang digunakan untuk menghormati lawan bicara atau orang yang menjadi topik dalam pembicaraan secara tidak langsung, dengan cara merendahkan posisi si pembicara sendiri. Sedangkan yang dimaksud dengan teineigo adalah bahasa yang digunakan untuk menghormati lawan bicara dengan cara menghaluskan kata-kata atau kalimat yang diucapkannya.

    Selanjutnya bahasa Jepang yang digunakan dalam situasi tidak formal atau yang biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari seperti di dalam keluarga, atau antarteman akrab, terutama laki-laki kecenderungan lebih kasar. Bahasa atau ungkapan seperti ini disebut dengan istilah kudaketa hyougen. Sehingga jika hubungan di antara sesamanya semakin akrab, maka ada kecenderungan bahasa yang digunakannya semakin kasar (Sutedi, 2007:153).

    Bahasa Jepang adalah bahasa yang sangat berwarna dan lekat dengan tatakrama. Terdapat berbagai cara untuk mengungkapkan hal yang pada dasarnya sama, dan ini dipengaruhi oleh faktor kesopanan yang telah diuraikan penyusun di atas, hubungan antara pembicara, umur pembicara, dan latar belakang atau sifat pembicara sangat berpengaruh terhadap bahasa yang digunakan.

    Sebagai contoh, untuk meminta atau membuat orang lain agar makan, digunakan berbagai cara berikut dengan nuansa yang sangat berbeda (semuanya menggunakan kata dasar taberu yang berarti “makan”):

    a. たべてください (tabete kudasai): “Silahkan makan”. Ini cara membuat permintaan sopan. Ungkapan seperti ini digunakan di segala situasi, misalnya mempersilahkan tamu makan.

    b. たべて (tabete): Sama seperti di atas akan tetapi terdengar lebih santai, digunakan misalnya antarteman.

    c. たべなさい (tabenasai): Permintaan yang cukup tegas namun sopan. Biasa digunakan misalnya oleh ibu kepada anaknya yang rewel tidak mau makan.

    d. たべていただけませんか・ (tabete itadakemasen ka?): Permintaan yang sangat sopan, dengan nuansa bahwa kita merendahkan diri. Seakan-akan mengatakan “Mungkin makanannya tidak enak, tapi akankah kamu berbaik hati memakannya?”

    e. たべ(tabero!): “Makan!” Ini bentuk perintah kasar.

    Bahasa Sunda memiliki tiga tingkatan tatakrama berbahasa yaitu basa lemes (bahasa halus), basa loma (bahasa sehari-hari) dan bahasa kasar, sebagai tambahan bahasa Sunda memiliki aturan penggunaan bahasa untuk diri sendiri. Bahasa Sunda termasuk bahasa yang teratur dan memiliki banyak tatakrama. Tatakrama berbahasa tersebut sangat dijunjung tinggi dan penggunaannya benar-benar diperhatikan pemakai bahasanya sendiri, yaitu orang Sunda.

    Basa lemes digunakan pada situasi-situasi tertentu dan digunakan terhadap lawan bicara tertentu. Basa lemes digunakan oleh orang yang lebih rendah kedudukannya terhadap lawan bicaranya yang lebih tinggi kedudukannya, misalnya terhadap orang yang dihormati, yang lebih muda pada yang lebih tua dan digunakan juga terhadap siapapun yang baru dikenal. Basa lemes juga digunakan untuk sapaan, pada penulisan berbagai tulisan pribadi (surat, dll) serta ketika berbicara dalam keadaan formal atau di muka umum. Akan tetapi basa lemes tidak digunakan dalam warta (berita) ataupun redaksi-redaksi publik, karena pada keadaan ini bahasa yang digunakan adalah basa loma (bahasa sehari-hari).

    Basa loma adalah bahasa sehari-hari, digunakan antarteman sebaya atau terhadap teman yang sudah saling mengenal atau akrab. Basa loma juga merupakan bahasa kasar, akan tetapi orang Sunda tidak menganggap demikian selama konteksnya masih berada pada situasi loma (akrab). Sekasar apapun jika terhadap teman sebaya, tidak akan menjadi masalah, bahkan tergolong aneh jika menggunakan basa lemes dalam situasi tersebut.

    Bahasa kasar, seperti halnya bahasa Jepang, bahasa Sunda memiliki bahasa kasar. Kegunaan dari bahasa kasar biasanya untuk hewan dan juga untuk mengungkapkan kemarahan dan bersifat merendahkan lawan bicaranya. Perbedaan bahasa kasar dengan basa loma adalah pada kosakata bahasa kasar yang lebih kasar dari basa loma, meskipun beberapa kosakata bahasa kasar boleh digunakan dalam situasi loma (Undak-Usuk Basa Sunda, 1997).

    Dalam kasus yang sama, yaitu perintah makan, bahasa Sunda juga memiliki kasus yang sama dengan bahasa Jepang. Sebagai contoh untuk perintah makan:

    a. Neda. “Abdi neda” (Saya makan). Penggunaan pola tatakrama ini digunakan untuk diri sendiri.

    b. Dahar. “Geura dahar!” (Segeralah makan!). Penggunaan pola tatakrama ini digunakan untuk situasi loma (akrab) pada teman sebaya atau orang yang telah dikenal. Bisa juga digunakan untuk orang yang kedudukannya lebih rendah dari pembicara.

    c. Tuang. “Tuang heula, Pa!” (Makan, Pak!). Penggunaan pola tatakrama ini digunakan untuk keadaan sopan. Kata ini digunakan untuk bentuk sopan oleh orang yang lebih muda terhadap yang lebih tua atau terhadap tamu dan orang yang tidak begitu dikenal (akrab).

    d. Dahar, madang, nyatu. Bentuk ini merupakan bentuk kasar yang bersifat merendahkan lawan bicaranya dan biasa digunakan untuk hewan atau dalam keadaan marah.

    Dapat penyusun simpulkan bahwa bahasa Jepang dan bahasa Sunda memiliki kemiripan atau kesamaan dalam kasus seperti ini. Adapun contoh lainnya penyusun uraikan di bawah ini (penyusun langsung menerjemahkan kata dalam bahasa Jepang ke dalam bentuk dan arti bahasa Sundanya):

    Penggunaan kata ganti “saya”

    わたし (watashi): abdi (saya, bentuk sopan)

    ぼく (boku): kuring (saya, bentuk nonformal (loma))

    おれ (ore): aing (saya, bentuk kasar)

    Penggunaan kata “datang”

    くる (kuru): datang (datang/tiba, bentuk biasa (loma))

    いらっしゃる (irassharu): sumping (datang/tiba, bentuk hormat)

    おる (oru): dongkap (datang/tiba, digunakan untuk diri sendiri)

    Penggunaan kata “pergi”

    いく (iku): indit (pergi, bentuk biasa)

    おいでになる (oide ni naru): angkat (pergi, bentuk hormat)

    うかがう (ukagau): mios (pergi, digunakan untuk diri sendiri)

    Beberapa contoh dalam kalimat:

    Bahasa untuk diri sendiri,

    Watashi wa gohan o itadakimasu. (Dalam bahasa Jepang)

    Abdi neda. (Dalam bahasa Sunda)

    Saya makan nasi. (Dalam bahasa Indonesia)

    Penggunaan bahasa untuk orang lain yang lebih tua,

    Sensei wa gohan o meshigarimasu.

    Pa guru tuang sangu.

    Pak guru makan nasi.

    Watashi wa hachi-ji ni mairimasu. Sensei nanji ni irassahimasu ka.

    Abdi bade mios tabuh 8, bapa bade angkat tabuh sabaraha?

    Saya akan pergi pada pukul 8, bapak akan pergi pukul berapa?

    Demikian beberapa contoh kesamaan pola tatakrama yang bisa penyusun berikan. Hal ini menunjukkan kesamaan sebagaimana penyusun uraikan di atas.

    Kesamaan Bentuk Sapaan pada Bahasa Jepang dan Bahasa Sunda yang tidak dimiliki Bahasa Lain

    Beberapa Kasus Persamaan

    Bahasa Jepang dan bahasa Sunda memiliki bentuk sapaan yang memiliki kesamaan dan tidak terdapat dalam bahasa lain seperti bahasa Indonesia misalnya. Berikut penyusun uraikan beberapa kasus kesamaan tersebut.

    Bahasa Jepang dan bahasa Sunda memiliki beberapa tatakrama berbahasa dalam kesehariannya, misalnya ucapan permisi, ucapan sebelum makan dan ungkapan-ungkapan lain yang sering digunakan dalam berbagai kegiatan sehari-hari. Misalnya (penyusun langsung menerjemahkan kata dalam bahasa Jepang ke dalam bentuk dan arti bahasa Sundanya):

    いったきますす (ittadakimasu): ditampi (diucapkan sebelum makan)

    すみません (sumimasen): punten (ungkapan permisi)

    いっきます (ittekimasu): marangga! (ungkapan sebelum meninggalkan rumah)

    Demikian beberapa contoh kesamaan pola tatakrama yang bisa penyusun berikan. Hal ini menunjukkan kesamaan sebagaimana penyusun uraikan di atas. Agar lebih jelas dalam membandingkannya, penyusun sajikan sebuah tabel beberapa kesamaan yang telah penyusun uraikan di atas.

    Bentuk Biasa

    Bentuk Sopan

    Bentuk Diri Sendiri

    Arti

    ぼく (boku)

    kuring

    わたし (watashi)

    abdi


    Saya

    くる (kuru)

    datang

    いらっしゃる (irassharu)

    sumping

    おる (oru)

    dongkap

    Datang

    いく (iku)

    indit

    おいでになる (oide ni naru)

    angkat

    うかがう (ukagau)

    mios

    Pergi

    Penutup

    Bahasa Jepang dan bahasa Sunda memiliki beberapa kesamaan yaitu pada pola tatakrama dan bentuk sapaan. Meskipun tidak terdapat keterkaitan budaya antara budaya Sunda dan budaya negara Jepang sendiri, pola yang sama dalam kebahasaan ini dirasakan penyusun merupakan hal yang biasa ditemui dalam kebahasaan. Bahasa yang fungsinya merupakan alat komunikasi pada dasarnya memiliki kebutuhan yang sama dalam pembentukan polanya, karena pola tingkah laku manusiapun pada dasarnya sama.

    DAFTAR PUSTAKA

    Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1997). Undak-Usuk Basa Sunda. Bandung: Remaja Rosdakarya.

    Sutedi, Dedi. (2007). Nihongo No Bunpou. Bandung: Humaniora.

    Sutedi, Dedi. (2007). Tata Bahasa Jepang Tingkat Dasar (Edisi Pertama). Bandung: Humaniora.

    1 komentar:

    Unknown mengatakan...

    keren ini artikel ><